Senin, 23 September 2013

KAPITALISME TERHADAP HAK-HAK BURUH

OURCING SEBUAH PENGINGKARAN KAPITALISME TERHADAP HAK-HAK BURUH



Dewasa ini masyarakat kapitalis umumnya ditandai oleh terciptanya polarisasi sosial diantara para pemilik kapital dengan pekerja. (Revrisond Bawsir, 1999 : 4). Kebebasan kaum kapitalis adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor produksi, dengan faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya. Termasuk kebebasan yang dimiliki oleh para pejabat negara.
Kondisi dunia yang telah dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan.
Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masive.[1] Menurut Tabb dalam Susetiawan (2009 : 6), bahwa konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia dilakukan melalui organisasi atau agen-agen internasional antara lain WTO (World Trade Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff), Bank Dunia
(World Bank), IMF (International Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya.
Globalisasi memperluas pergerakan modal dan memberi tempat yang makin penting bagi korporasi besar dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan sebuah pergeseran yang menandai makin kuatnya ekspansi kapitalis global. Hingga mencengkram seluruh basis perekonomian nasional, dari perekonomian skala besar sampai perekonomian rakyat kecil.
Ekspansi besar-besaran perusahaan multi nasional disertai juga dengan tuntutan mekanisme kerja baru yang memperkenalkan sistem hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk outsourcing dan kerja kontrak. Semua mekanisme kerja dimaksudkan untuk meraih keuntungan yang lebih besar dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau pengusaha terhadap masa depan pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir identik dengan kue keuntungan yang makin besar (Rekson Silaban, 2009:4). Indonesia pasca reformasi setelah tumbangnya rezim diktator, terbukanya alam kebebasan memberikan efek positif bagi setiap warga negara untuk berserikat dalam organisasi-organisasi masyarakat. Begitu juga kelompok buruh semakin tergorganisir dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Walaupun demikian belumlah selesai masalah perburuhan dinegeri ini.
Rekson Silaban (2009 : 48) mencatat beberapa masalah utama perburuhan pasca reformasi yaitu masalah pengangguran dan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pekerja sektor informal, masalah pendidikan dan komposisi, sistem pengupahan, praktek outsourcing dan kontrak, masalah sistem pengawasan tenaga kerja, dan masalah jaminan sosial tenaga kerja.
Masalah tersebut menjadi isu-isu yang cukup sexy apalagi pada saat kampanye partai politik. Agenda yang selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya karena isu tersebut tetap dijaga sebagai alat kepentingan politik.
Dalam paper ini yang menarik untuk dianalisis yaitu masalah outsourcing sebagai sebuah mekanisme perburuhan yang lahir dari rahim kapitalisme modern.
Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi (Rekson Silaban, 2009 : 71). Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit dalam perusahaan (Komang Priamda, 2008 : 12).
Outsourcing memiliki dua jenis pertama, outsourcing pekerjaan yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, kedua, outsourcing manusia. Tipe outsourcing yang kedua merupakan praktek yang memberikan efisiensi pada tingkat tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan buruh dipihak lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan buruh di Indonesia khususnya. Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2003, praktek sistem kerja kontrak merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua perusahaan memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan outsourcing dan pengusaha berkonspirasi mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai berikut : "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis". Berdasarkan pasal inilah pemerintah telah mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia.
Dari uraian diatas yang menjadi permasalahan utama paper ini yaitu begaimana mekanisme outsourcing menjadi sebuah sistem perburuhan yang mengingkari hak-hak buruh, dengan persfektif teori alienasi dan nilai surplus Karl Marx. Dan menganalisis keterkaitan hubungan perburuhan dalam sistem outsourcing, yaitu bagaimana posisi buruh, perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna outsourcing. Selain itu akan ditampilkan data-data gejolak-gejolak yang muncul dari sistem outsourcing.
1.2. Rumusan Masalah
Outsourcing merupakan mekanisme perburuhan diera modern, sebagai imbas dari eksploitasi dan ekspansi perusahaan multi nasional dalam lingkaran kapitalisme global. Menilik uraian latar belakang tersebut maka yang menjadi rincian permasalahan dalam makalah "Outsourcing Sebuah Pengingkaran Kapitalisme Terhadap Hak-Hak Buruh" yaitu sebagai beikut :
1. Bagaimana mekanisme outsourcing dalam industri di Indonesia ?, bagaimana hubungan buruh serta kedudukan buruh dalam sistem tersbut ?
2. Bagaimana indikasi-indikasi pengingkaran hak-hak buruh dalam sistem outsourcing ?, bagiamana alienasi dan nilai surplus yang terjadi dalam sistem tersebut ?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami outsourcing sebagai sebuah pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mekanisme outsourcing yang diberlakukan dalam industri di Indonesia
2. Untuk menggambarkan keterkaitan hubungan kerja antara buruh, perusahaan outsourcing, dan perusahaan pengguna outsourcing
3. Untuk menggambarkan posisi buruh dalam sistem outsourcing dan melihat implikasi-implikasi penindasan hak-hak buruh oleh sistem tersebut
1.4. Kerangka Teoritis
Kapitalisme dalam persfektif Marx, tidaklah secara sederhana berarti sebuah sistem produksi bagi pasar, tetapi juga sistem yang dalam keadaan kekuatan buruh telah menjadi komoditi yang diperjualbelikan di pasar seperti objek-objek pertukaran lainnya (Dawam Rahardjo, 1987 : 39). Kondisi inilah yang mewarnai sistem perburuhan dewasa ini. Sistem outsourcing telah melegalkan perbudakan buruh, eksploitasi secara besar-besaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi akumulasi modal yang sebesar-besarnya. Tenaga kerja merupakan komoditi yang dikebiri hak-hak kemanusiaannya. Inilah wajah dari kapitalisme sebagai sebuah sistem yang menggerogoti tubuh-tubuh buruh dengan harga dan imbalan yang tidak seimbang. Hal ini tentunya sangat ironis, buruh sebagai tulang punggung produksi tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja yang mereka lakukan. Menurut Lipson dalam Raharjo (1987 : 44), bahwa esensi dari kapitalisme yaitu sistem upah yang dalam keadaan ini, buruh tidak mempunyai hak pemilikan terhadap barang-barang yang dibuatnya; buruh tidak menjual buah-buahan dari kerjanya, melainkan kerja itu sendiri. Sistem perburuhan melalui outsourcing merupakan anak kandung dari rahim kapitalisme. Memahami fenomena tersebut dapat menggunakan alat analisis dari dua teori besar Marx yaitu teori nilai surplus untuk melihat mekanisme outsourcing dan teori alienasi untuk melihat kondisi buruh didalam sistem outsourcing.
Analisis Marx mengenai keterasingan didalam produksi kapitalis, bertolak pada suatu fakta ekonomi kontemporer bahwa makin maju kapitalisme, akan semakin miskin pula buruh (Anthony Gidden, 2007 : 13). Begitu juga dalam hubungan perburuhan dewasa ini, sifat ekploitatif sistem kapitalis semakin kuat mencengkram buruh, dengan berbagai mekanisme perburuhan untuk memberikan surplus bagi produksi mereka.Menurut Marx dalam Ritzer (2008 : 54), bahwa kerja bukan sebagai sebuah ekspresi dari tujuan, tidak ada objektivasi. Tetapi buruh bekerja berdasarkan tujuan kapitalis yang menggaji dan mengupah mereka. Kerja dijadikan sebagai reduksi untuk mencapai tujuan dari kapitalis.
Alienasi memiliki beberapa dimensi, yang akan digunakan dalam melihat sistem perburuhan melalui outsourcing.
Pertama, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis. Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis. Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia (Ritzer dan Gidden, 2008 : 56-57). Selain demensi alienasi akan dilihat juga nilai surplus dari mekanisme outsourcing. Nilai surplus muncul sebagai akibat dari eksploitasi dan dominasi dari kapitalisme tidak hanya sekedar distribusi kesejahteraan dan kekuasan yang tidak seimbang. Paksaan tidak dianggap sebagai kekerasan, malah dianggap sebagai kebutuhan pekerja itu sendiri yang hanya bisa dipenuhi melalui upah. Nilai surplus merupakan nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh dalam bekerja. Seorang buruh yang mampu menghasilkan suatu produksi dalam waktu beberapa jam untuk mencapai targetan pokok, dan sisa waktunya adalah nilai surplus bagi kapitalis untuk mendapatkan produk tanpa imbalan ke faktor produksi yaitu buruh. Hak-hak tersebut diambil alih oleh kapitalis, Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja surplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan (Anthony Gidden, 2007 : 61).
Kedua pisau analisis tersebut akan menjadi acuan dalam analisis sistem perburuhan outsourcing. Dalam melihat outsoursingada dua pendekatan yaitu dari sisi perusahaan (penguasa modal) dan dari persfektif buruh. Persfektif dasar dengan landasan yang berbeda memberikan penafsiran yang juga berbeda pula. Praktek outsourcing merupakan gejala global yang dapat dipandang sebagai ikon dari globalisasi. Outsourcing merupakan bagian dari mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk melakukan efisiensi dalam industri, tetapi dari sisi lain menimbulkan ketidakpastian kerja (Rekson Silaban, 2009 : 67). Kontroversi sistem outsourcing memunculkan perdebatan panjang antara pihak perusahaan dengan kaum buruh, salah satu diuntungkan dan yang lainnya dirugikan.

BAGIAN DUA ANALISIS DAN WACANA
2.1. Mekanisme Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.
Perkembangan kapitalisme di era modern telah mencapai pada puncaknya menghegemoni dunia. Kondisi ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang berkembang cukup pesat. Batas-batas Negara menjadi tidak penting lagi, hanya batas formalitas teritorial yang ada, tetapi tidak mampu membendung pernyebaran ide-ide, inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi sebuah kampung global. Menurut James J (2003 : 174), globalisasi merupakan pengintegrasian internasional individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi secara cepat dan mendalam, dalam takaran yang belum dialami sejarah dunia sebelumnya. Outsourcing merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga sebagai anak kandung yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sifat dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaan-perusahaan transnasional dan multi nasional, semakin kuat mengcengkram Negara-negara yang sedang berkembang. Ekspansi dan eksploitasi yang besar-besaran dilakukan demi akumulasi modal. Sebagai contoh perusahaan NIKE selama periode 1989-1994 membuka lokasi pabrik baru di Cina, Indonesia dan Thailand dimana upah sangat rendah.
Ekspansi besar-besaran perusahaan transnasional diiringi juga dengan model dan format kerja yang mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di wilayah pengembangan perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri globalisasi dimana perusahaan transnasional melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi (Martin Khor, 2001 : 12). Karena itu globalisasi adalah proses yang tidak adil dengan distribusi-distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak seimbang.
Dari penjelasan diatas dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing di Indonesai sebagai salah satu negara berkembang merupakan imbas dari hegemoni kapitalis. Outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an, model kerja ini disahkan keberlakuannya melalui keputusan Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan Berikat. Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri perminyakan. Bahan bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses panjang dan melalui berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik konsesi lahan, eksplorasi hingga produksi, transportasi, semuanya dilakukan oleh perusahaan yang berbeda (Komang Priambada, 2008 : 21).
Dewasa ini hampir seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang dimiliki oleh para kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan industri melakukan outsourcing yaitu pertama, efisiensi kerja dimana perusahaan produksi dapat melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan outsourcing; kedua, resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin; ketiga, sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan produksi; keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena dana yang sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional; kelima perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah; keenam, mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan landasan hukum bagi pelegalan sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa modal dan sebaliknya merugikan kaum buruh. Berbagai aksi protes menentang sistem outsourcing merupakan salah satu bentuk dari resistensi terhadap kepitalisme. Dalam persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan kelayakan hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan lain sebagainya adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh yang mencederai human rigth.
Untuk mempertegas mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai hubungan buruh dan kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :
2.1.1. Hubungan Buruh
Hubungan industrial di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang dikonstruksikan Karl Marx. Outsourcing didefinisikan sebagai model kerja yang menambahkan unsur 'pelaksana perkerjaan' diantara relasi buruh dan modal (Rita Olivia, 2008 : 9). Kondisi tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin kabur, dan memperlemah bergaining position buruh terhadap pemilik modal. Dalam model kerja outsourcing adanya pergeseran ruang lingkup hubungan industrial. Awalnya yang terkenal dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh, pengusaha dan pemerintah (Susetiawan, 2000:173). Dalam model outsourcing menjadi empat lingkaran hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan oustsourcing), perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing sebagai sebuah model perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam perekrutan. Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan turunnya harga buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara cadangan yang banyak mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak buruh. Eksploitasi, PHK dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh pemilik modal. Hubungan industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara cadangan. Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari kewajiban-kewajiban terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja buruh. Menurut Komang Priambada (2008 : 31), pihak pengusaha berpendapat bahwa "Dari mana pekerja itu direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah bukan urusan kita sebagai pemakai". Inilah satu kondisi yang memperlihatkan bahwa pekerja adalah barang dagangan dan outsourcing tidak lain hanyalah triffiking yang dilegalkan. Hubungan yang terjadi antara buruh dengan perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu ketergantungan yang tidak seimbang. Eggi Sudjana (2001 : 27), menjelaskan bahwa kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok pemberi upah atau borjuis dalam mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang terbatas. Sehingga dalam prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat sebelah, karena prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan pada efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi.
Hubungan peruburuhan dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah disebutkan diatas sangat merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik perbruhan merupakan sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat disatu sisi pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran hubungan buruh dalam sistem outsourcing.
2.1.2. Kedudukan Buruh
Buruh dalam model kerja outsourcing menjadi sosok barang yang diperjualbelikan dengan harga murah, tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung mengganti dengan barang yang lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang murah. Buruh adalah alat atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh sehingga ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal (capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi, kerena merakalah yang turut langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen. Kanyataannya bahwa buruh selalu dikebiri disubordinatkan dan gerakan-gerakannya selalu dilemahkan, karena dianggap akan membahayakan pemilik modal. Inilah wajah kapitaslime, wajah penindasan terhadap hak-hak buruh. Outsourcing adalah model kerja yang mencederai makna HAM dan Demokrasi. Celia Mather, (2008 : 28) mengungkapkan bahwa outsourcing mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama, tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian. Menurut Celia Mather (2008 : 37), perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa memberikan upah yang jauh lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari penyediaan tunjangan-tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan.
Keberadaan buruh berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan perjuangan kolektif buruh melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak buruh. Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu yang mengadakan hubungan kerja dengan perusahaan secara langsung, atau buruh yang disalurkan oleh lembaga outsourcing (jasa penyalur tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak yang terlibat dalam perjanjian dalam hal ini adalah jasa penyalur tenaga kerja dan perusahaan, sementara buruh outsorcing sendiri berada di bawah kendali jasa penyalur.
2.2. Indikasi Pengingkaran Hak-Hak Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Pengingkaran hak-hak buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu. Indikasi pelanggaran kapitalis (pemilik modal) dapat dilihat dari laporan Organisai Nirlaba "Global Alliance for Workers and Communities" mengenai kondisi kerja di sembilan Perusahaan NIKE. Hasil laporan dari wawancara dengan 4.450 buruh, bahwa terjadi penyiksaan dan perlakuan tidak sewajarnya oleh pekerja kontrak (outsourcing), sejumlah 30 persen buruh mengaku pernah melihat atau mengalami pelecehan atau penyiksaan baik secara verbal maupun fisik, termasuk pelecehan seksual (Sri Haryani, 2002 : 45). Laporan tersebut merupakan sebagian kecil dari gambaran bagaimana kondisi buruh dalam sistem outsouring. Untuk memperjelas mengenai indikasi tersebut disini akan digunakan persfektif alienasi dan nilai surplus Karl Marx.
2.2.1. Alienasi Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Manusia merupakan mahluk produktif yang mampu menggunakan seperangkat kemampuannya untuk bekerja. Kerja adalah sebuah proses dimana manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan produktif. Manusia mempunyai kemampauan untuk mengatur, memulai, dan mengontrol reakasi-reaksi material antara dirinya dan alam.
Marx dalam teori alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi, dalam menganalisis buruh dan perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal. Perkembangan kapitalisme dan juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin menguatkan eksploitasi dan ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural maupun fungsional teralienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak perantara penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh telah melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.
Beberapa indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu, pertama; buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis (Ritzer, 2008 : 56)
Buruh dicetak dan dibentuk seperti mesin yang bekerja untuk pemilik mesin. Buruh kehilangan kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk produktif untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak untuk menciptakan produk sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka sendiri. Outsourcing melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama terbentuk. Kondisi ini juga didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan perusahaan inti terhadap buruh. Senada dengan gambaran diatas dalam kongres ICEM menyatakan bahwa kami memandang outsourcing sebagai bentuk dari perbudakan dan ketidakadilan bagi kemanusiaan (Celia Mather, 2008 : 39).
Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis. Asumsi ini masih dalam satu rangkaian dengan tipe aleinasi yang pertama. Buruh diposisikan sebagai faktor produksi yang memproduksi barang untuk kepentingan kapitali dan akan mereka jual dipasar. Sebagai contoh buruh outsourcing di perusahan Nike, tidak dapat serta merta dapat memiliki hasil dari kerjanya. Meraka bisa memiliknya ketika mereka membeli produk itu dipasar tetapi harganya tidak bakanlan terjangkau oleh mereka.
Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini sebenarnya telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja
outsourcing ada varian lain, tidak seperti yang ditemukan pada kapitalisme awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing mencapai pada puncaknya, mereka menjadi aktor yang harus loyal karena perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang memberatkan pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan mengakibatkan pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekautan yang menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga berimplikasi mereka tidak tidak dapat berinteraksi dengan buruh-buruh yang lain. Selain itu ada juga kecenderungan buruh outsourcing tidak dapat masuk kedalam serikat-serikat buruh karena waktu kontrak yang terbatas, dan terjadi hambatan untuk merekrut buruh kedalam serikat buruh yang akan memperjaungkan hak-hak dasar mereka.
Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan tenaga dan usaha yang maksimum. Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan buruh dalam keadaan yang sangat sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang memadai, sehingga penindasan terhadap hak-hak buruh menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem tersebut.
2.2.2. Nilai Surplus Dalam Sistem outsourcing
Buruh outsoursing sangat rentan dengan eksploitasi secara besar-besaran oleh pemilik modal atau kapitalisme. Sistem outsourcing mengakibatkan buruh bena-benar berada pada titik kulminasi, tidak mampu berbuat apapun demikian juga untuk membela hak-haknya. Penerapan outsourcing yang dilegalkan dengan adanya undang-udang memberikan landasan hukum dibolehkannya praktek pengingkaran terhadap hak-hak buruh oleh negara. Kerja buruh seharusnya di nilai dengan harga dan bayaran yang seimbang. Idealnya begitu yang diharapkan oleh buruh baik secara personal maupun dalam gerakan kolektif srikat buruh. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak dasar menjadi agenda utama dalam setiap aksi-aksi serikat buruh. Walaupun demikian tuntutan itu belum terwujud hingga saat ini. Salah satu tujuan outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi biaya produksi. Nilai surplus merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau sudah direkayasa dalam sistem outsouricing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan pemilik modal yang mendominasi dalam mekanisme tersebut. Menarik lebih jauh bahwa dibalik semua proses ini adalah wujud dari ketergantungan negara berkembang (satelit) terhadap negara maju (metropolis). Menurut Frank kapitalisme pada dasarnya ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum kapitalisme dinegara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah negara satelit. Akibat dari kerjasama antara modal asing dan pemerintah muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungakan modal asing dan borjuasi lokal dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut (Arief Budiman, 2000 : 66).
Nilai surplus yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada pada posisi yang dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di ingkari haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak tidak ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah selesai dan mampu untuk melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih dari waktunya masih diperas oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah bentuk dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan (Anthony Giddens, 2007 : 61).
Sistem outsourcing merupakan bentuk dari pemerasan terhadap nilai surplus yang dihasilkan buruh. Pada masa kolonial pengambilan nilai surplus dilakukan dengan perburuhan yang tidak manusiawi melalui kerja paksa, misal sistem pajak dan penanaman tanaman wajib bagi para petani, sehingga eksploitasi massal terjadi di berbagai tempat dan kapasitas.
Pada era ini negara memberikan kelonggaran kepada pihak kapitalis untuk melanggengkan usahanya dengan sistem outsourcing yang dilindungi oleh undang-undang. Lalu dimanakah peran negara dalam melindungi hak-hak buruh ini menjadi permasalahan lain lagi dalam bingkai permasalahan perburuhan yang cukup luas. Inilah yang selalu diperjuangkan oleh serikat-serikat buruh agak keadilan negara didalam memberikan perlindungan dan memberikan hak-hak rakyat tercapai.
Dalam banyak kasus, kesempatan penulis wawancara dengan salah satu buruh outsouring perusahaan Transnasional Philips di Batam. Informan merupakan salah satu supervisor di perushaan tersebut, menurut dia bahwa mereka bekerja dibawah tekanan, dimana tergetan-targetan harus dicapai secara maksimal. Ketika tergetan tersebut belum tercapai maka dalam waktu 24 jam mereka harus lembur untuk memproduksi barang yang di tergetkan tersebut, hari liburpun mereka tetap masuk. dan bahkan ketika tergetan tersebut tercapai, saat pesanan atau order untuk penjulan dipasar meningkat maka targetan-targetan tersebut semakin di persempit dalam artian mereka harus menyelesaiakan tergartan dalam jangka waktu yang lebih sedikit, kemudian lebih waktu tersebut di kuras lagi untuk mengerjakan targetan yang berikutnya. Kerja seperti ini sudah menjadi rutinitas yang kami lakukan, protes-protes tidak pernah dilakukan oleh karyawan disini (Informan Buruh Outsourcing PT. Philips di Batam) Inilah gambaran dari banyak kasus yang menimpa buruh, mereka dalam ketidakberdayaan, kerja dalam tekanan dan kepatuhan yang luar biasa sehingga kesadaran kelas sulit untuk tumbuh, hal ini karena mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berinterkasi sesama pekerja apalagi dengan serikat-serikat buruh. Sistem outsoursing adalah modela rekayasa kerja yang paling menguntungkan pihak kapitalisme. Nilai surplus merupakan salah satu dari banyak keuntungan yang diambil oleh pihak kapitalisme, melalui perusahaan-perusahaan mereka yang telah mennyebar dan menjalar keseluruh negara khususnya negara-negara berkembang, yang sekaligus dijadikan pasar, dan akumulasi modal mengalir keluar yaitu kepihak kapitalis.
Hal ini senada dengan pendapat Paul Baran, bahwa munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia barat ke negara-negara dunia ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang, melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal (Arief Budiman, 2000 : 58).
BAGIAN AKHIR
3.1. Kesimpulan
Outsourcing merupakan perkembangan dari mekanisme perburuhan di era modern. Sistem kerja tersebut merupakan penjelmaan dari sifat kapitalisme yaitu ekspansif dan eksploitatif yang telah menghegemoni negara-nagara berkembang.
Model kerja outsourcing merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar buruh, oleh pihak kapitalis.
Disyahkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang memperbolehkan makanisme kerja outsourcing, merupakan landasan hukum formal bagi penindasan dan penghisapan hak-hak buruh. Selain itu sistem tersebut sesungguhnya mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.
Ada beberapa indikator yang ditemui dalam sistem kerja outsourcing
v  Model kerja outsoursing sebagai anak kandung dari kapitalis, sebagai wujud dari pengingkaran terhadap hak-hak buruh.
v  Model kerja tersebut mengabaikan hak-hak buruh, dalam hubungan, kedudukan, terjadi alienasi dan pengurusan buruh (nilai surplus).
v  Model kerja outsourcing obnormal, tidak memanusiakan masusia, mencederai hak azasi manusia (human right).
3.2. Saran

Dengan berbagai anomali-anomali dari model kerja tersebut, sehingga perlunya penguatan organisasi buruh untuk menghadang laju outsourcing dan menjadikan outsourcing sebagai isu sentral dalam perjuangan hak-hak buruh.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.