OURCING SEBUAH
PENGINGKARAN KAPITALISME TERHADAP HAK-HAK BURUH
Dewasa ini masyarakat kapitalis umumnya ditandai oleh terciptanya polarisasi sosial diantara para pemilik kapital dengan pekerja. (Revrisond Bawsir, 1999 : 4). Kebebasan kaum kapitalis adalah kebebasan yang ditopang oleh penguasaan fakor-faktor produksi, dengan faktor-faktor produksi kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan membeli kebebasan yang dimiliki komponen masyarakat lainnya. Termasuk kebebasan yang dimiliki oleh para pejabat negara.
Kondisi dunia yang telah
dihegemoni oleh kekuatan kapitalisme global mencengkram seluruh sendi-sendi
kehidupan.
Dua sifat utama dari
kapitalisme yaitu eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini
berjalan beriringan sehingga pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan
akumulasi modal semakin masive.[1] Menurut Tabb dalam Susetiawan (2009 : 6),
bahwa konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata dunia dilakukan melalui
organisasi atau agen-agen internasional antara lain WTO (World Trade
Organization), GATT (General Agreement on Trade and Tariff), Bank Dunia
(World Bank), IMF
(International Monetary Fund) dan berbagai lembaga lainnya.
Globalisasi memperluas
pergerakan modal dan memberi tempat yang makin penting bagi korporasi besar
dunia (MNCs). Di Indonesia kita menyaksikan sebuah pergeseran yang menandai makin
kuatnya ekspansi kapitalis global. Hingga mencengkram seluruh basis
perekonomian nasional, dari perekonomian skala besar sampai perekonomian rakyat
kecil.
Ekspansi besar-besaran
perusahaan multi nasional disertai juga dengan tuntutan mekanisme kerja baru
yang memperkenalkan sistem hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk
outsourcing dan kerja kontrak. Semua mekanisme kerja dimaksudkan untuk meraih
keuntungan yang lebih besar dengan mengurangi tanggung jawab pemilik modal atau
pengusaha terhadap masa depan pekerjaannya. Kata kunci yang selalu mereka
ungkapkan yaitu efisiensi yang hampir identik dengan kue keuntungan yang makin
besar (Rekson Silaban, 2009:4). Indonesia pasca reformasi setelah tumbangnya
rezim diktator, terbukanya alam kebebasan memberikan efek positif bagi setiap
warga negara untuk berserikat dalam organisasi-organisasi masyarakat. Begitu
juga kelompok buruh semakin tergorganisir dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Walaupun demikian belumlah selesai masalah perburuhan dinegeri ini.
Rekson Silaban (2009 :
48) mencatat beberapa masalah utama perburuhan pasca reformasi yaitu masalah
pengangguran dan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pekerja sektor informal,
masalah pendidikan dan komposisi, sistem pengupahan, praktek outsourcing dan kontrak,
masalah sistem pengawasan tenaga kerja, dan masalah jaminan sosial tenaga
kerja.
Masalah tersebut menjadi
isu-isu yang cukup sexy apalagi pada saat kampanye partai politik. Agenda yang
selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya karena isu tersebut
tetap dijaga sebagai alat kepentingan politik.
Dalam paper ini yang
menarik untuk dianalisis yaitu masalah outsourcing sebagai sebuah mekanisme
perburuhan yang lahir dari rahim kapitalisme modern.
Outsourcing merupakan
bentuk nyata dari prinsip fleksibelitas pasar kerja dan dapat ditemukan
dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi (Rekson Silaban, 2009 :
71). Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau
seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi
pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi atau pun sebuah unit
dalam perusahaan (Komang Priamda, 2008 : 12).
Outsourcing memiliki dua
jenis pertama, outsourcing pekerjaan yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan
pada pihak lain, kedua, outsourcing manusia. Tipe outsourcing yang kedua
merupakan praktek yang memberikan efisiensi pada tingkat tertentu dalam
operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan buruh dipihak
lain. Praktek inilah yang ditentang oleh gerakan buruh di Indonesia khususnya.
Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2003, praktek sistem kerja kontrak
merajarela bagaikan jamur di musim hujan. Nyaris semua perusahaan
memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun
2003 adalah landasan hukum bagi perusahaan outsourcing dan pengusaha
berkonspirasi mempraktekkan outsourcing. Bunyinya sebagai berikut :
"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis". Berdasarkan pasal
inilah pemerintah telah mengakui pemberlakuan sistem kerja kontrak dan
outsourcing yang dahulu kala merupakan salah satu bentuk penjajahan koloni
asing atas Indonesia di perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia.
Dari uraian diatas yang
menjadi permasalahan utama paper ini yaitu begaimana mekanisme outsourcing
menjadi sebuah sistem perburuhan yang mengingkari hak-hak buruh, dengan
persfektif teori alienasi dan nilai surplus Karl Marx. Dan menganalisis
keterkaitan hubungan perburuhan dalam sistem outsourcing, yaitu bagaimana
posisi buruh, perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna outsourcing.
Selain itu akan ditampilkan data-data gejolak-gejolak yang muncul dari sistem
outsourcing.
1.2. Rumusan Masalah
Outsourcing merupakan
mekanisme perburuhan diera modern, sebagai imbas dari eksploitasi dan ekspansi
perusahaan multi nasional dalam lingkaran kapitalisme global. Menilik uraian
latar belakang tersebut maka yang menjadi rincian permasalahan dalam makalah
"Outsourcing Sebuah Pengingkaran Kapitalisme Terhadap Hak-Hak Buruh"
yaitu sebagai beikut :
1. Bagaimana mekanisme
outsourcing dalam industri di Indonesia ?, bagaimana hubungan buruh serta
kedudukan buruh dalam sistem tersbut ?
2. Bagaimana
indikasi-indikasi pengingkaran hak-hak buruh dalam sistem outsourcing ?,
bagiamana alienasi dan nilai surplus yang terjadi dalam sistem tersebut ?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam
makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami outsourcing sebagai sebuah
pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak buruh.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui
mekanisme outsourcing yang diberlakukan dalam industri di Indonesia
2. Untuk menggambarkan
keterkaitan hubungan kerja antara buruh, perusahaan outsourcing, dan perusahaan
pengguna outsourcing
3. Untuk menggambarkan
posisi buruh dalam sistem outsourcing dan melihat implikasi-implikasi
penindasan hak-hak buruh oleh sistem tersebut
1.4. Kerangka Teoritis
Kapitalisme dalam
persfektif Marx, tidaklah secara sederhana berarti sebuah sistem produksi bagi
pasar, tetapi juga sistem yang dalam keadaan kekuatan buruh telah menjadi
komoditi yang diperjualbelikan di pasar seperti objek-objek pertukaran lainnya
(Dawam Rahardjo, 1987 : 39). Kondisi inilah yang mewarnai sistem perburuhan
dewasa ini. Sistem outsourcing telah melegalkan perbudakan buruh, eksploitasi
secara besar-besaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi akumulasi modal
yang sebesar-besarnya. Tenaga kerja merupakan komoditi yang dikebiri hak-hak
kemanusiaannya. Inilah wajah dari kapitalisme sebagai sebuah sistem yang
menggerogoti tubuh-tubuh buruh dengan harga dan imbalan yang tidak seimbang.
Hal ini tentunya sangat ironis, buruh sebagai tulang punggung produksi tidak
mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja yang mereka lakukan. Menurut Lipson
dalam Raharjo (1987 : 44), bahwa esensi dari kapitalisme yaitu sistem upah yang
dalam keadaan ini, buruh tidak mempunyai hak pemilikan terhadap barang-barang
yang dibuatnya; buruh tidak menjual buah-buahan dari kerjanya, melainkan kerja
itu sendiri. Sistem perburuhan melalui outsourcing merupakan anak kandung dari
rahim kapitalisme. Memahami fenomena tersebut dapat menggunakan alat analisis
dari dua teori besar Marx yaitu teori nilai surplus untuk melihat mekanisme
outsourcing dan teori alienasi untuk melihat kondisi buruh didalam sistem
outsourcing.
Analisis Marx mengenai
keterasingan didalam produksi kapitalis, bertolak pada suatu fakta ekonomi
kontemporer bahwa makin maju kapitalisme, akan semakin miskin pula buruh
(Anthony Gidden, 2007 : 13). Begitu juga dalam hubungan perburuhan dewasa ini,
sifat ekploitatif sistem kapitalis semakin kuat mencengkram buruh, dengan
berbagai mekanisme perburuhan untuk memberikan surplus bagi produksi
mereka.Menurut Marx dalam Ritzer (2008 : 54), bahwa kerja bukan sebagai sebuah
ekspresi dari tujuan, tidak ada objektivasi. Tetapi buruh bekerja berdasarkan
tujuan kapitalis yang menggaji dan mengupah mereka. Kerja dijadikan sebagai
reduksi untuk mencapai tujuan dari kapitalis.
Alienasi memiliki
beberapa dimensi, yang akan digunakan dalam melihat sistem perburuhan melalui
outsourcing.
Pertama, buruh
teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak
bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk
kapitalis. Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak
memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk
tersebut hak milik kapitalis. Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja.
Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan
kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia (Ritzer
dan Gidden, 2008 : 56-57). Selain demensi alienasi akan dilihat juga nilai
surplus dari mekanisme outsourcing. Nilai surplus muncul sebagai akibat dari
eksploitasi dan dominasi dari kapitalisme tidak hanya sekedar distribusi kesejahteraan
dan kekuasan yang tidak seimbang. Paksaan tidak dianggap sebagai kekerasan,
malah dianggap sebagai kebutuhan pekerja itu sendiri yang hanya bisa dipenuhi
melalui upah. Nilai surplus merupakan nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh
dalam bekerja. Seorang buruh yang mampu menghasilkan suatu produksi dalam waktu
beberapa jam untuk mencapai targetan pokok, dan sisa waktunya adalah nilai
surplus bagi kapitalis untuk mendapatkan produk tanpa imbalan ke faktor
produksi yaitu buruh. Hak-hak tersebut diambil alih oleh kapitalis, Marx
menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja surplus sebagai tingkat
nilai surplus atau tingkat pemerasan (Anthony Gidden, 2007 : 61).
Kedua pisau analisis
tersebut akan menjadi acuan dalam analisis sistem perburuhan outsourcing. Dalam
melihat outsoursingada dua pendekatan yaitu dari sisi perusahaan (penguasa
modal) dan dari persfektif buruh. Persfektif dasar dengan landasan yang berbeda
memberikan penafsiran yang juga berbeda pula. Praktek outsourcing merupakan
gejala global yang dapat dipandang sebagai ikon dari globalisasi. Outsourcing
merupakan bagian dari mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk melakukan
efisiensi dalam industri, tetapi dari sisi lain menimbulkan ketidakpastian
kerja (Rekson Silaban, 2009 : 67). Kontroversi sistem outsourcing memunculkan
perdebatan panjang antara pihak perusahaan dengan kaum buruh, salah satu
diuntungkan dan yang lainnya dirugikan.
BAGIAN DUA ANALISIS DAN
WACANA
2.1. Mekanisme
Outsourcing Dalam Industri Di Indonesia.
Perkembangan kapitalisme
di era modern telah mencapai pada puncaknya menghegemoni dunia. Kondisi ini
didukung oleh kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang berkembang
cukup pesat. Batas-batas Negara menjadi tidak penting lagi, hanya batas
formalitas teritorial yang ada, tetapi tidak mampu membendung pernyebaran
ide-ide, inovasi, teknologi sehingga dunia menjadi sebuah kampung global.
Menurut James J (2003 : 174), globalisasi merupakan pengintegrasian
internasional individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta
institusi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi secara cepat dan mendalam,
dalam takaran yang belum dialami sejarah dunia sebelumnya. Outsourcing
merupakan turunan dari kapitalisme global. Dikatakan juga sebagai anak kandung
yang lahir dari rahim kapitalis, kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari sifat
dasar kapitalis yaitu eksploitatif dan ekspansif. Perusahaan-perusahaan
transnasional dan multi nasional, semakin kuat mengcengkram Negara-negara yang
sedang berkembang. Ekspansi dan eksploitasi yang besar-besaran dilakukan demi
akumulasi modal. Sebagai contoh perusahaan NIKE selama periode 1989-1994
membuka lokasi pabrik baru di Cina, Indonesia dan Thailand dimana upah sangat
rendah.
Ekspansi besar-besaran
perusahaan transnasional diiringi juga dengan model dan format kerja yang
mereka persiapkan (outsourcing), untuk diterapkan di wilayah pengembangan
perusahaan. Ini merupakan implementasi dari ciri globalisasi dimana perusahaan
transnasional melakukan peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai
sumberdaya dan kekuatan ekonomi (Martin Khor, 2001 : 12). Karena itu
globalisasi adalah proses yang tidak adil dengan distribusi-distribusi
keuntungan maupun kerugian yang juga tidak seimbang.
Dari penjelasan diatas
dapat diasumsikan bahwa perkembangan outsourcing di Indonesai sebagai salah
satu negara berkembang merupakan imbas dari hegemoni kapitalis. Outsourcing di
Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an, model kerja ini
disahkan keberlakuannya melalui keputusan Menteri Perdagangan RI No.
264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak Perusahaan Pengelola di Kawasan
Berikat. Industri awal yang bersentuhan dengan outsource adalah industri
perminyakan. Bahan bakar yang dimanfaakan oleh konsumen akhir, mengalami proses
panjang dan melalui berbagai perusahaan outsourcing. Dimulai dari pemilik
konsesi lahan, eksplorasi hingga produksi, transportasi, semuanya dilakukan
oleh perusahaan yang berbeda (Komang Priambada, 2008 : 21).
Dewasa ini hampir
seluruh industri baik kecil maupun skala besar yang dimiliki oleh para
kapitalis melalukan praktek outsourcing. Ada beberapa alasan industri melakukan
outsourcing yaitu pertama, efisiensi kerja dimana perusahaan produksi dapat
melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan outsourcing; kedua,
resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga
pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil
mungkin; ketiga, sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan produksi; keempat,
mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena dana yang sebelumnya
untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional; kelima perusahaan
dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah; keenam, mekanisme
kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Pengesahan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, merupakan landasan hukum bagi pelegalan
sistem outsourcing yang menguntungkan pihak penguasa modal dan sebaliknya
merugikan kaum buruh. Berbagai aksi protes menentang sistem outsourcing
merupakan salah satu bentuk dari resistensi terhadap kepitalisme. Dalam
persfektif buruh, outsorcing menjadi sebuah batu penghalang bagi peningkatan
kelayakan hidup bagi mereka. Upah yang murah, tidak adanya jaminan sosial dan
lain sebagainya adalah indikasi dari pengingkaran kapitalisme terhadap hak-hak
buruh yang mencederai human rigth.
Untuk mempertegas
mengenai mekanisme tersebut berikut uraian mengenai hubungan buruh dan
kedudukan buruh dalam model kerja outsourcing :
2.1.1. Hubungan Buruh
Hubungan industrial di
Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan bahwa buruh ditempatkan
sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang dikonstruksikan Karl
Marx. Outsourcing didefinisikan sebagai model kerja yang menambahkan unsur
'pelaksana perkerjaan' diantara relasi buruh dan modal (Rita Olivia, 2008 : 9).
Kondisi tersebut menjadikan hubungan perburuhan semakin kabur, dan memperlemah
bergaining position buruh terhadap pemilik modal. Dalam model kerja outsourcing
adanya pergeseran ruang lingkup hubungan industrial. Awalnya yang terkenal
dengan istilah tripartit atau hubungan antara buruh, pengusaha dan pemerintah
(Susetiawan, 2000:173). Dalam model outsourcing menjadi empat lingkaran
hubungan yaitu buruh, perantara atau broker (perusahaan oustsourcing),
perusahaan inti (pemilik modal) dan pemerintah. Outsourcing sebagai sebuah
model perburuhan baru, melalui beberapa tahapan dalam perekrutan. Ketersediaan
tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan turunnya harga
buruh. Menurut Marx tersedianya tentara-tentara cadangan yang banyak
mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak buruh. Eksploitasi, PHK
dan lain sebagainya diputuskan secara sepihak oleh pemilik modal. Hubungan
industrial dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai
kejelasan dalam hubungan, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana
mereka menuntut hak-haknya. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam
outsourcing, jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang, tidak adanya
kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh, karena waktu yang habis
dalam kontrak kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat
pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing. Dan
digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai tentara-tentara
cadangan. Kondisi ini membebaskan industri-industri pengguna dari
kewajiban-kewajiban terhadap buruh kecuali hanya memberikan upah dari kerja
buruh. Menurut Komang Priambada (2008 : 31), pihak pengusaha berpendapat bahwa
"Dari mana pekerja itu direkrut, bagaimana datangnya dan lain-lain adalah
bukan urusan kita sebagai pemakai". Inilah satu kondisi yang
memperlihatkan bahwa pekerja adalah barang dagangan dan outsourcing tidak lain
hanyalah triffiking yang dilegalkan. Hubungan yang terjadi antara buruh dengan
perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna (pemilik modal), adalah hubungan
ketergantungan. Tentunya tipe ketergantungan (dependensi) yang terjadi yaitu
ketergantungan yang tidak seimbang. Eggi Sudjana (2001 : 27), menjelaskan bahwa
kekuasaan yang menumpuk di tangan kelompok pemberi upah atau borjuis dalam
mengelola dan menguasai sumber-sumber daya yang terbatas. Sehingga dalam
prakteknya hubungan ketergantungan ini berjalan dengan berat sebelah, karena
prinsip para kapitalis yaitu memaksimalkan keuntungan yang menekankan pada
efisiensi dan produktivitas, sehingga buruh sering dieksploitasi.
Hubungan peruburuhan
dalam sistem oousourcing sebagimana yang telah disebutkan diatas sangat
merugikan kaum buruh. Penolakan dan terjadinya konflik perbruhan merupakan
sebauh kegagalan poduk hukum dalam menampung dan mengeluarkan kebijakan yang
berpihak kepada mereka. Terjadilah hubungan yang tidak sehat disatu sisi
pengusaha diuntungkan dan dilain sisi buruh dirugikan. Inilah gambaran hubungan
buruh dalam sistem outsourcing.
2.1.2. Kedudukan Buruh
Buruh dalam model kerja
outsourcing menjadi sosok barang yang diperjualbelikan dengan harga murah,
tidak harus menunggu rongsok dan bisa langsung mengganti dengan barang yang
lain, dengan kualitas yang lebih bagus dan harga yang murah. Buruh adalah alat
atau faktor produksi setelah modal, signifikannya peran buruh sehingga
ketidakhadiran buruh, berakibat pada tidak akan tercipta akumulasi modal
(capital). Idealnya buruh ditempatkan ditempat yang layak dan dihargai dengan
nilai yang tinggi, kerena merakalah yang turut langsung menciptakan produk yang
akan dikonsumsi konsumen. Kanyataannya bahwa buruh selalu dikebiri
disubordinatkan dan gerakan-gerakannya selalu dilemahkan, karena dianggap akan
membahayakan pemilik modal. Inilah wajah kapitaslime, wajah penindasan terhadap
hak-hak buruh. Outsourcing adalah model kerja yang mencederai makna HAM dan
Demokrasi. Celia Mather, (2008 : 28) mengungkapkan bahwa outsourcing
mengakibatkan tiga masalah utama yaitu pertama, tersingkirnya buruh dari meja
atau kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan
terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam
outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian. Menurut Celia Mather (2008 :
37), perusahaan inti melalui kontrator penyedia jasa memberikan upah yang jauh
lebih rendah daripada buruh tetap, mereka terhindar dari penyediaan
tunjangan-tunjangan seperti pensiun, asuransi kesehatan, kematian atau
kecelakaan, sakit dibayar, cuti dibayar, tunjangan melahirkan.
Keberadaan buruh
berstatus outsorcing pada gilirannya akan melemahkan perjuangan kolektif buruh
melalui serikat buruh, sebagai elemen pemaksa bagi terpenuhinya hak-hak buruh.
Sebab, buruh outsourcing bergerak sebagai individu yang mengadakan hubungan
kerja dengan perusahaan secara langsung, atau buruh yang disalurkan oleh
lembaga outsourcing (jasa penyalur tenaga kerja), kepada perusahaan, para pihak
yang terlibat dalam perjanjian dalam hal ini adalah jasa penyalur tenaga kerja
dan perusahaan, sementara buruh outsorcing sendiri berada di bawah kendali jasa
penyalur.
2.2. Indikasi
Pengingkaran Hak-Hak Buruh Dalam Sistem Outsourcing
Pengingkaran hak-hak
buruh dalam model kerja outsourcing, sebagian telah dijelaskan dalam pembahasan
terdahulu. Indikasi pelanggaran kapitalis (pemilik modal) dapat dilihat dari
laporan Organisai Nirlaba "Global Alliance for Workers and
Communities" mengenai kondisi kerja di sembilan Perusahaan NIKE. Hasil
laporan dari wawancara dengan 4.450 buruh, bahwa terjadi penyiksaan dan
perlakuan tidak sewajarnya oleh pekerja kontrak (outsourcing), sejumlah 30
persen buruh mengaku pernah melihat atau mengalami pelecehan atau penyiksaan
baik secara verbal maupun fisik, termasuk pelecehan seksual (Sri Haryani, 2002
: 45). Laporan tersebut merupakan sebagian kecil dari gambaran bagaimana
kondisi buruh dalam sistem outsouring. Untuk memperjelas mengenai indikasi
tersebut disini akan digunakan persfektif alienasi dan nilai surplus Karl Marx.
2.2.1. Alienasi Buruh
Dalam Sistem Outsourcing
Manusia merupakan mahluk
produktif yang mampu menggunakan seperangkat kemampuannya untuk bekerja. Kerja
adalah sebuah proses dimana manusia dan alam terlibat dalam sebuah kegiatan
produktif. Manusia mempunyai kemampauan untuk mengatur, memulai, dan mengontrol
reakasi-reaksi material antara dirinya dan alam.
Marx dalam teori
alienasi mengungkapkan empat bentuk alienasi, dalam menganalisis buruh dan
perkembangan buruh pada masa kapitalisme awal. Perkembangan kapitalisme dan
juga perangkat-perangkat pendukungnya semakin menguatkan eksploitasi dan
ekspansi. Buruh outsourcing baik secara struktural maupun fungsional
teralienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak perantara
penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh telah
melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini sesungguhnya
mirip "jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh
negara.
Beberapa indikator dari
alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu, pertama; buruh kehilangan
kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam
bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa
buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja
untuk kapitalis (Ritzer, 2008 : 56)
Buruh dicetak dan
dibentuk seperti mesin yang bekerja untuk pemilik mesin. Buruh kehilangan
kreativitas dan kemampuan dasarnya sebagai mahluk produktif untuk mencukupi
kebutuhan sendiri. Mereka telah kehilangan hak-hak untuk menciptakan produk
sesuai dengan keinginan dan untuk kebutuhan mereka sendiri. Outsourcing
melanggengkan perangkap terhadap buruh yang sudah lama terbentuk. Kondisi ini
juga didukung dengan kuatnya penguasaan broker dan perusahaan inti terhadap
buruh. Senada dengan gambaran diatas dalam kongres ICEM menyatakan bahwa kami
memandang outsourcing sebagai bentuk dari perbudakan dan ketidakadilan bagi
kemanusiaan (Celia Mather, 2008 : 39).
Kedua, buruh teralienasi
dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk
hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis. Asumsi ini
masih dalam satu rangkaian dengan tipe aleinasi yang pertama. Buruh diposisikan
sebagai faktor produksi yang memproduksi barang untuk kepentingan kapitali dan
akan mereka jual dipasar. Sebagai contoh buruh outsourcing di perusahan Nike,
tidak dapat serta merta dapat memiliki hasil dari kerjanya. Meraka bisa
memiliknya ketika mereka membeli produk itu dipasar tetapi harganya tidak
bakanlan terjangkau oleh mereka.
Ketiga, buruh
teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini sebenarnya telah lama terjadi,
tetapi dalam kasus kerja
outsourcing ada varian
lain, tidak seperti yang ditemukan pada kapitalisme awal, dimana hubungan buruh
hanya antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama
pekerja outsourcing mencapai pada puncaknya, mereka menjadi aktor yang harus
loyal karena perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang
memberatkan pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan
mengakibatkan pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekautan
yang menghegemoni buruh untuk tunduk. Sehingga berimplikasi mereka tidak tidak
dapat berinteraksi dengan buruh-buruh yang lain. Selain itu ada juga
kecenderungan buruh outsourcing tidak dapat masuk kedalam serikat-serikat buruh
karena waktu kontrak yang terbatas, dan terjadi hambatan untuk merekrut buruh
kedalam serikat buruh yang akan memperjaungkan hak-hak dasar mereka.
Keempat, buruh
tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak
lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia. Kondisi ini juga
terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi yang cukup kuat
mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka sepenuhnya. Buruh hanya
menerima gaji yang minimum dengan pengerukan tenaga dan usaha yang maksimum.
Outsourcing atau kerja kontrak memposisikan buruh dalam keadaan yang sangat
sulit, tidak mempunyai posisi tawar yang memadai, sehingga penindasan terhadap
hak-hak buruh menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem tersebut.
2.2.2. Nilai Surplus
Dalam Sistem outsourcing
Buruh outsoursing sangat
rentan dengan eksploitasi secara besar-besaran oleh pemilik modal atau
kapitalisme. Sistem outsourcing mengakibatkan buruh bena-benar berada pada
titik kulminasi, tidak mampu berbuat apapun demikian juga untuk membela
hak-haknya. Penerapan outsourcing yang dilegalkan dengan adanya undang-udang
memberikan landasan hukum dibolehkannya praktek pengingkaran terhadap hak-hak
buruh oleh negara. Kerja buruh seharusnya di nilai dengan harga dan bayaran yang
seimbang. Idealnya begitu yang diharapkan oleh buruh baik secara personal
maupun dalam gerakan kolektif srikat buruh. Tuntutan akan pemenuhan hak-hak
dasar menjadi agenda utama dalam setiap aksi-aksi serikat buruh. Walaupun
demikian tuntutan itu belum terwujud hingga saat ini. Salah satu tujuan
outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi biaya produksi. Nilai surplus
merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau sudah direkayasa dalam sistem
outsouricing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan pemilik modal yang
mendominasi dalam mekanisme tersebut. Menarik lebih jauh bahwa dibalik semua
proses ini adalah wujud dari ketergantungan negara berkembang (satelit)
terhadap negara maju (metropolis). Menurut Frank kapitalisme pada dasarnya
ingin mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum kapitalisme
dinegara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah negara
satelit. Akibat dari kerjasama antara modal asing dan pemerintah muncullah
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungakan modal asing dan borjuasi
lokal dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak negara tersebut (Arief
Budiman, 2000 : 66).
Nilai surplus yang
diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada pada posisi yang dikeruk dan
dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di ingkari haknya,
dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak tidak
ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah selesai dan
mampu untuk melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih dari waktunya
masih diperas oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah bentuk dari
nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja
suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan (Anthony Giddens,
2007 : 61).
Sistem outsourcing
merupakan bentuk dari pemerasan terhadap nilai surplus yang dihasilkan buruh.
Pada masa kolonial pengambilan nilai surplus dilakukan dengan perburuhan yang
tidak manusiawi melalui kerja paksa, misal sistem pajak dan penanaman tanaman
wajib bagi para petani, sehingga eksploitasi massal terjadi di berbagai tempat
dan kapasitas.
Pada era ini negara
memberikan kelonggaran kepada pihak kapitalis untuk melanggengkan usahanya
dengan sistem outsourcing yang dilindungi oleh undang-undang. Lalu dimanakah
peran negara dalam melindungi hak-hak buruh ini menjadi permasalahan lain lagi
dalam bingkai permasalahan perburuhan yang cukup luas. Inilah yang selalu
diperjuangkan oleh serikat-serikat buruh agak keadilan negara didalam
memberikan perlindungan dan memberikan hak-hak rakyat tercapai.
Dalam banyak kasus,
kesempatan penulis wawancara dengan salah satu buruh outsouring perusahaan
Transnasional Philips di Batam. Informan merupakan salah satu supervisor di
perushaan tersebut, menurut dia bahwa mereka bekerja dibawah tekanan, dimana
tergetan-targetan harus dicapai secara maksimal. Ketika tergetan tersebut belum
tercapai maka dalam waktu 24 jam mereka harus lembur untuk memproduksi barang
yang di tergetkan tersebut, hari liburpun mereka tetap masuk. dan bahkan ketika
tergetan tersebut tercapai, saat pesanan atau order untuk penjulan dipasar
meningkat maka targetan-targetan tersebut semakin di persempit dalam artian
mereka harus menyelesaiakan tergartan dalam jangka waktu yang lebih sedikit,
kemudian lebih waktu tersebut di kuras lagi untuk mengerjakan targetan yang
berikutnya. Kerja seperti ini sudah menjadi rutinitas yang kami lakukan,
protes-protes tidak pernah dilakukan oleh karyawan disini (Informan Buruh
Outsourcing PT. Philips di Batam) Inilah gambaran dari banyak kasus yang
menimpa buruh, mereka dalam ketidakberdayaan, kerja dalam tekanan dan kepatuhan
yang luar biasa sehingga kesadaran kelas sulit untuk tumbuh, hal ini karena
mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berinterkasi sesama pekerja
apalagi dengan serikat-serikat buruh. Sistem outsoursing adalah modela rekayasa
kerja yang paling menguntungkan pihak kapitalisme. Nilai surplus merupakan
salah satu dari banyak keuntungan yang diambil oleh pihak kapitalisme, melalui
perusahaan-perusahaan mereka yang telah mennyebar dan menjalar keseluruh negara
khususnya negara-negara berkembang, yang sekaligus dijadikan pasar, dan
akumulasi modal mengalir keluar yaitu kepihak kapitalis.
Hal ini senada dengan
pendapat Paul Baran, bahwa munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal
kuat dari dunia barat ke negara-negara dunia ketiga, membuat surplus yang
terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang, melalui berbagai macam cara.
Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan
penyusutan modal (Arief Budiman, 2000 : 58).
BAGIAN AKHIR
3.1. Kesimpulan
Outsourcing merupakan
perkembangan dari mekanisme perburuhan di era modern. Sistem kerja tersebut
merupakan penjelmaan dari sifat kapitalisme yaitu ekspansif dan eksploitatif
yang telah menghegemoni negara-nagara berkembang.
Model kerja outsourcing
merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar buruh, oleh pihak
kapitalis.
Disyahkannya
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang memperbolehkan
makanisme kerja outsourcing, merupakan landasan hukum formal bagi penindasan
dan penghisapan hak-hak buruh. Selain itu sistem tersebut sesungguhnya mirip
"jual beli manusia" (human trafficking) yang dilegalisasi oleh
negara.
Ada beberapa indikator
yang ditemui dalam sistem kerja outsourcing
v Model kerja
outsoursing sebagai anak kandung dari kapitalis, sebagai wujud dari
pengingkaran terhadap hak-hak buruh.
v Model kerja
tersebut mengabaikan hak-hak buruh, dalam hubungan, kedudukan, terjadi alienasi
dan pengurusan buruh (nilai surplus).
v Model kerja
outsourcing obnormal, tidak memanusiakan masusia, mencederai hak azasi manusia
(human right).
3.2. Saran
Dengan berbagai
anomali-anomali dari model kerja tersebut, sehingga perlunya penguatan
organisasi buruh untuk menghadang laju outsourcing dan menjadikan outsourcing
sebagai isu sentral dalam perjuangan hak-hak buruh.
0 komentar:
Posting Komentar